Kamis, 06 September 2018

Logo Hitam Putih IAIC






INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG

Jl. Muktamar NU No. 1 Cipasung, Cipakat - Singaparna

Tasikmalaya 46417 Telp. (0265) 544367




Rabu, 09 Mei 2018

Review Film: 212: The Power of Love, Gerakan Cinta Jutaan Manusia dalam Damai dan Persatuan Umat




Film 212: The Power of Love akhirnya tayang juga. Film yang diangkat dari Novel 212: Cinta Menggerakkan Segala, karya Helvy Tiana Rosa dan Benny Arnas dibuka dengan perseteruan antara Rahmat (Fauzi Baadila) dengan pemred sebuah majalah terkemuka terkait tulisan yang mengundang kontroversi di kalangan pembaca, terutama umat Islam. Hal ini dibuktikan dengan beberapa surat pernyataan tidak suka atas tulisan yang ia buat.
Rahmat, sebagai seorang jurnalis di sebuah media terkemuka tetap berpegang pada ideologinya, bahwa tidak ada yang salah dengan tulisan yang ia buat. Namun tetap saja hal ini menyulut emosi beberapa orang, terutama rekan kerjanya. Hingga pada suatu hari, Rahmat mendapat kabar tentang kepergian Ibunya.
Adin (Adhin Abdul Hakim)—teman dekat Rahmat—ikut terkejut dan berdukacita atas kepergian ibunya. Selanjutnya Rahmat—ditemani Adin—bergegas menuju lokasi kepergian ibunya di sebuah kabupaten di Jawa Barat. Hingga pada saat tiba, perempuan bernama Yasna (Meyda Sefira) langsung berbicara perihal ibunya pada saat Rahmat dan Adin tiba di lokasi.

Kembali Pulang Karena Cinta
Kepergian istrinya menjadi hal wajar menurut Kiai Zaenal (ayah Rahmat), karena hidup hanya titipan Allah Swt., hanya saja kedatangan Rahmat tidak disukai Kiai Zaenal karena ia datang pada saat ibunya meninggal. Hingga akhirnya Kiai Zaenal memberikan sebuah surat peninggalan ibunya yang ditunjukkan untuk Rahmat.
Beberapa hari kemudian, Kiai Zaenal memutuskan akan ikut longmarch menuju Jakarta bersama para jamaahnya, sebagai lanjutan dari aksi bela Islam sebelumnya yang merupakan ungkapan membela Alquran yang telah dinistakan oleh salah seorang aparat pemerintahan pusat.
Aksi yang dilakukannya bukan aksi kekerasan, tapi aksi damai dan bela Alquran. Rencana yang akan dilakukan Kiai Zaenal dan para jamaahnya membuat Rahmat tidak menyukai keputusan ayahnya, karena ia menganggap aksi 212 dan aksi-aksi sebelumnya adalah gerakan politik demi kepentingan kekuasaan. Hingga pada akhirnya membuat Rahmat resah, sebab ayahnya sudah tua dan sering sakit-sakitan. Namun apa daya, Kiai Zaenal tak memperdulikan Rahmat dan bersikukuh untuk melanjutkan aksi 212. Karena kekhawatiran terhadap ayahnya, Rahmat memutuskan mendampingi ayahnya sampai Jakarta.

Pesan Damai dan Menjaga Persatuan

Judul film ini dibilang cukup mencerminkan isi filmnya. 212: The Power of Love benar-benar berisi ‘The Power of Love’, alias kekuatan cinta. Bisa dibilang, 85 persen isi film ini diisi dengan cinta yang dibuktikan dengan beberapa adegan yang menyentuh hati, salah satunya menghormati non-muslim yang berada di sekitar lokasi aksi dengan tidak membuat kerusuhan.
Hal tersebut tak lantas membuat 212: The Power of Love menjadi membosankan, justru sebaliknya, dengan aksi dan tindakan tiap tokoh yang berbeda-beda namun satu arah, yakni rasa cinta—walau berbeda cara—membuat film ini spesial dan layak untuk diapresiasi.

Radikalis Romantis yang Menghidupkan Film

Film arahan Jastin Arimba ini patut diacungi jempol, terutama pada satu scene yang saya sendiri—bisa jadi hal yang sama dirasakan penonton lain—terenyuh, yakni ketika seorang anak perempuan membacakan lantunan ayat suci Alquran dengan sangat merdu. Hal lainnya mengenai humorisnya Adin. Pasalnya, setiap Adin bersikap, selalu saja menjadi gelak tawa para penonton. Apalagi saat si radikalis romantis tersebut bertingkah konyol di hadapan wanita yang menjadi teman Rahmat sejak kecil. Ia bisa dibilang sebagai satu tokoh yang menghidupkan film karena kekonyolannya yang selalu menghibur.
Penampilan Adin yang berbanding terbalik dengan penampilannya bisa dibilang menjadi nilai lebih bagi film ini.

Perjalanan Bapak Tua dan Pasukan Putih

Tiba saatnya film ini memutarkan inti dari makna yang disampaikan. Beberapa masa berkumpul untuk melakukan longmarch ke Jakarta dengan Abrar (Hamas Syahid) sebagai komandannya. Di beberapa adegan film ini begitu menyulut emosi menurut pandangan saya sendiri. Pasalnya perseteruan antara Kiai Zaenal dengan Rahmat tak berhenti sampai di sini.
Pemberitaan aksi ini mulai terlihat di beberapa stasiun televisi. Beberapa jamaah diperkirakan tiba di Monas pada 2 Desember 2016. Pembagian konsumsi oleh beberapa orang kepada peserta longmarch membuat saya sendiri sebagai penonton merasa haru. Kebersamaan dengan rasa kekeluargaan begitu tergambar. Hal ini, saya rasa bisa menjadi momen flashback bagi alumni 212 dengan beberapa cuplikan aksi damai yang luar biasa.

Makna Cinta, Iman dan Perdamaian

Keseruan menonton film ini yang tayang sejak Rabu (9/5/2018), adalah saat menyaksikan berkumpulnya jutaan umat Islam, kebersamaan bertakbir dan momen turun hujan ketika hendak melaksanakan salat Jumat yang sesuai dengan fakta kejadian aksi ini. Beberapa pemain figuran yang diperankan beberapa artis ternama muncul dalam scene ini.
Setelah salat Jumat selesai, Rahmat menemani Kiai Zaenal berziarah ke makan istrinya. Pada akhirnya film ini diakhiri dengan peran tokoh utama yang membuat geli, gelak tawa dan rasa haru. Saya rasa cukup disayangkan film sebagus ini hanya berdurasi 110 menit. Semoga dengan kesadaran masyarakat, kita bisa bersama-sama mendukungnya dengan menonton di awal tayang atau sedekah tiket, serta berkenan membagikan kabar tayang film ini di sosial media dan juga masyarakat diharapkan bisa lebih memprioritaskan menonton film baik di Tanah Air, salah satunya film 212: The Power of Love. Semoga film ini memiliki kelanjutannya dan semakin banyaknya film-film bernilai positif di Tanah Air. Aamiin.




@212movie @bukurepublika
#review212 #putihkanbioskop